Beranda | Artikel
SEBAB-SEBAB IKHTILAF DI KALANGAN ULAMA
Rabu, 10 Oktober 2018

Oleh: Abu ‘Abdillah Ibn Abi Muhammad Sholih
Perlu kita ketahui bahwasanya pembahasan fiqih pada zaman Nabi ﷺ tidak pernah dituliskan dan dibukukan sebagaimana yang kita kenal pada zaman kita sekarang ini. Begitu pula pembahasan tentang masalah hukum-hukum syari’at pada saat itu tidak sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli fiqih setelah zaman beliau ﷺ , di mana mereka mengerahkan segala kemampuan mereka untuk menjelaskan segala masalah baik tentang hukum-hukum, syari’at-syari’at ataupun adab-adab, masing-masing disertai dengan dalil dan dalil setiap ulama terkadang berbeda dengan yang lainnya.
* Sebab-Sebab Ikhtilaf (Perselisihan/beda pendapat) Para Sahabat dan Tabi’in Dalam Masalah Furu’ (Cabang agama).
Di zaman Rasulullah ﷺ tatkala beliau berwudhu, para sahabat melihatnya, maka merekapun berwudhu sebagaimana beliau berwudhu. Begitu pula merekapun mengambil segala sesuatu dari beliau ﷺ tanpa mencari penjelasan dari beliau ﷺ tentang mana rukun, mana syarat dan sebagainya. Demikianlah adab yang baik dari mereka.
Inilah keadaan beliau n secara keumuman, tidak menjelaskan bahwasanya fardhunya wudhu ada enam atau empat, dan tidak menjelaskan di dalam wudhu harus adanya muwalah (berturut-turut), sehingga wudhu tersebut dihukumi sah atau tidak karena hal itu. Sedangkan para ulama sesudah mereka menjelaskan hal itu secara detail. Para sahabat jarang sekali mempertanyakan hal demikian kepada Nabi ﷺ, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abbas:
Aku tidak melihat suatu kaumpun yang lebih baik dari para sahabat Rasulullah n , mereka tidak pernah bertanya kepada beliau kecuali tentang tiga belas permasalahan sampai beliau wafat, semuanya tersebut di dalam al-Qur’an, diantaranya:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ

Mereka bertanya kepada-mu tentang bulan al-haram untuk berperang didalamnya (Al-Baqarah: 217)

وَ يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ

Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. (Al-Baqarah: 222)
Ibnu Abbas berkata: “Tidaklah mereka bertanya kecuali tentang masalah yang bermanfaat bagi mereka.” (Riwayat Ad-Darimi di dalam Sunannya 1/48, dan disebutkan oleh AL-Haitsami di dalam Majma’ Az-Zawaid 1/158)
Ibnu Umar juga pernah menyatakan yang senada: “Janganlah kamu bertanya tentang sesuatu yang belum terjadi, sebab aku mendengar Umar bin Al-Khaththab melaknat orang yang bertanya tentang apa yang belum terjadi”.
Ibnu Al-Qasim juga berkata: “Sesungguhnya kamu bertanya tentang segala sesuatu yang dahulu kami tidak pernah pertanyakan, dan kamu menyelidiki (membahas) tentang segala sesuatu yang kami tidak pernah menyelidiki, dan kalian mempertanyakan segala sesuatu yang kami tidak mengetahui ilmunya, seandainya kami tahu, tidaklah halal bagi kami untuk menyembunyikannya.” (Atsar-atasar ini dikeluarkan oleh Imam Ad-Darimi di dalam Sunannya I/47-48).
Seandainya hadits-hadits beliau n dipelajari, niscaya akan kita dapati bahwa beliau memberikan fatwa ketika ditanya tentang permasalahan-permasalahan yang terjadi, beliau menetapkan keputusan hukum di saat permasalahan dilaporkan kepada beliau, dan tatkala beliau melihat manusia berbuat baik maka beliau memujinya, atau beliau melihat kemungkaran maka beliau mengingkarinya.
Demikian pula sikap para sahabat, mereka akan diam jika ditanya tantang suatu perkara yang mereka tidak mengetahuinya. Inilah Abu Bakar, beliau ditanya suatu hadits Nabi tentang hak waris nenek, maka beliau menjawab: “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah bersabda tentang masalah ini”. Kemudian beliaupun bertanya kepada orang banyak, tatkala selesai shalat dhuhur beliau berkata: “Siapa diantara kamu yang mendengar Rasulullah bersabda tentang nenek -dalam hak warisnya-?”. Al-Mughirah bin Syu’bah menjawab: “Saya”. Abu Bakar bertanya: “Apa yang kamu dengar?”. Al-Mughirah bin Syu’bah menjawab: “Rasulullah n memberinya seperenam”. Abu Bakar bertanya lagi: “Apakah ada selainmu yang mengetahui?”. Maka Muhammad bin Maslamah berkata: “Dia (Al-Mughirah bin Syu’bah) benar.” Maka Abu Bakar memberinya (bagian nenek)  seperenam. (HR. Malik, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad-Darimi dan At-Tirmidzi dan beliau menshahihkannya).
Begitu pula Umar tatkala beliau tidak tahu, beliau bertanya kepada para sahabat yang lain. Seperti tentang masalah Waba’ Tha’un (penyakit menular di kota) Amwas tatkala beliau di dalam perjalanan menuju Syam tahun 17 H. Yang akhirnya beliau mengambil hadits  dari Abdirahman bin Auf . Dari Abdullah bin ‘Amir, bahwasanya ‘Umar keluar menuju Syam, tatkala sampai di suatu daerah dekat Tabuk -sampai khabar kepada beliau bahwa Waba’ melanda Syam. Maka beliaupun bermusyawarah dengan para sahabat Muhajirin dan Anshor, baik yang muda maupun yang tua, apakah beliau tetap masuk ke daerah yang terlanda waba’ ataukah tidak. Tetapi  mereka berselisih pendapat dalam masalah ini, adapun pendapat beliau (Umar) adalah kembali -pulang-. Kemudian Abdurrahman bin Auf datang dan menyatakan bahwa dia mempunyai ilmu tentang hal tersebut, yaitu bahwa Rasulullah n telah bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ

Apabila kalian mendengar waba’ melanda suatu daerah, maka janganlah kalian memasukinya, dan apabila waba’ melanda suatu daerah dan kalian ada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar lari darinya. Maka Umar pun kembali ke Sarg setelah mendengar hadits dari Abdurrahman Ibn Auf. (HSR. Imam Al-Bukhari di dalam Shahihnya 10/179, 12/344 dan Imam Muslim 14/208-212).
Dan masih banyak lagi kisah lain yang senada di dalam Shahihain dan Sunan.
Ringkasnya, inilah kebiasaan mulia Nabi ﷺ , sehingga sahabat melihat dari diri beliau ﷺ apa yang Allah mudahkan bagi dirinya, baik dalam masalah ibadah, fatwa ataupun penetapan-penetapan hukum. Kemudian semua itu diilmui dan dijaga oleh para sahabat sesuai dengan keadaan dan sebab terjadinya. Sehingga –bisa jadi- diantara mereka ada yang menilai sesuatu sebagai hal yang mubah (dibolehkan) , orang lain menilainya sebagai hal yang mustahab (dianjurkan), sedangkan orang lain lagi menilainya sebagai hal yang mansukh (telah dihapus hukumnya) berdasarkan alamat-alamat dan tanda-tanda yang ada pada suatu masalah.
Kemudian berakhirlah masa beliau ﷺ yang mulia, sedangkan para sahabat berada dalam keadaan seperti ini. Lalu mereka berpencar ke berbagai negeri untuk menyebarkan risalah Muhammadiyah yang mulia. Merekapun menjadi panutan di dalam segala hal oleh setiap kaum di mana para sahabat berada. Kemudian mulailah muncul berbagai kejadian dan permasalahan baru, yang mereka –para kaum itu- meminta fatwa kepada sebagian sahabat, maka masing-masing para sahabat beristimbat (mengambil kesimpulan hukum) sebatas apa yang mereka ketahui. Apabila mereka tidak mendapati dari apa yang mereka ketahui, maka mereka berijtihad (mencurahkan segenap kemampuan untuk mengetahui hukum syar’i) dengan akal mereka berdasarkan ‘ilat (sebab hukum) yang Rasulullah n menetapkan hukum-hukum. Maka ditetapkanlah hukum-hukum tersebut menjadi umum selama tidak keluar dari maksud penetapan beliau n. Dari sini mulailah timbul ikhtilaf (perselisihan) di antara mereka, karena beberapa keadaan:

  1. Seorang sahabat mendengar suatu hukum atau fatwa di dalam suatu permasalahan yang tidak didengar oleh sahabat lain. Kemudian sahabat yang tidak mendengar itu berijtihad di dalam masalah tersebut dengan akalnya, sehingga dan hal ini bisa terjadi beberapa kemungkinan:
  2. a) Ijtihadnya sesuai dengan hadits.

Contoh: Apa yang diriwayatkan oleh Imam Nasai dan lainnya bahwa Ibnu Mas’ud ditanya tentang seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, dan suaminya belum menyebutkan jenis dan jumlah maharnya saat akad nikah, maka beliau berkata: “Aku tidak pernah mendapati Rasulullah menetapkan hukum demikian”, maka mereka -sahabat- berselisih selama sebulan dan tidak mendapati jawaban. Kemudian Ibnu Mas’ud berijtihad dengan akalnya dan menetapkan bahwa wanita tersebut mendapatkan mahar sebagaimana diberikan kepada istri-istri yang lain, tanpa adanya tambahan ataupun pengurangan, dan wanita tersebut wajib ber‘iddah -masa menanti- dan berhak mendapatkan warisan. Kemudian Ma’qil bin Yasar berdiri dan bersaksi bahwasanya Rasulullah n menetapkan hukum serupa bagi istri-istri mereka. Maka Ibnu Mas’ud merasa bahagia dengan hal ini, dengan  kebahagiaan yang belum pernah ia dapati sebelum Islam.

  1. b) Terjadi diskusi -perdebatan- di antara sahabat. Kemudian sahabat yang berijtihad itu mengikuti hadits yang dia dengar dan meninggalkan ijtihadnya.

Contohnya: Apa yang diriwayatkan oleh para Imam ahli hadits, bahwasanya Abu Hurairah mempunyai pendapat, bagi orang yang mendapati waktu pagi dalam keadaan junub maka puasanya tidak sah. Sampai sebagian istri-istri Nabi mengkhabarkan apa yang menyelisihi pendapatnya dan beliau rujuk kepada hadits.

  1. c) Hadits sampai kepadanya akan tetapi tidak bersesuaian dengan persangkaan yang diyakininya, sehingga dia tidak meninggalkan

Contohnya: Apa yang diriwayatkan oleh para Ahli Ushul, bahwa Fatimah binti Qais bersaksi kepada Umar Ibn Khaththab bahwasanya dahulu dia ditalak tiga dan Rasulullah tidak menetapkan baginya nafakah dan tempat tinggal, tetapi Umar menolak persaksiannya, dan berkata: “Kami tidak akan meninggalkan Kitabullah karena ucapan seorang wanita yang aku tidak tahu apakah dia benar atau dusta, maka wanita yang ditalak tiga berhak mendapatkan nafakah dan tempat tinggal.” (HR. Imam Muslim, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, dan Ath-Thahawi).
Aisyah berkata:  “Wahai Fathimah tidaklah engkau takut kepada Allah?”
-yakni berkenaan ucapan Fatimah binti Qais-: “Tidak ada tempat tinggal dan tidak ada nafakah (bagi wanita yang ditalak tiga).” (Imam Bukhari 9/477)

  1. d) Hadits tentang masalah tersebut sama sekali tidak pernah sampai kepadanya.

Contohnya: Sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Muslim, bahwasanya Ibnu Umar memerintahkan para wanita apabila mereka mandi -janabat- untuk menguraikan rambut mereka. Kemudian berita ini didengar oleh Aisyah, maka beliau berkata: “Sungguh aneh Ibnu Umar ini! Dia memerintahkan para wanita untuk menguraikan rambut mereka -saat mandi,  tidakkah -lebih baik- untuk memerintahkan mereka agar menggundul kepalanya! Sesungguhnya aku pernah mandi bersama Rasulullah dari satu bejana dan tidak lebih dari tiga siraman yang aku lakukan di kepalaku”.

  1. Perbedaan persepsi. Di antara kondisi yang menyebabkan ikhtilaf di antara sahabat adalah, bahwa mereka melihat Rasulullah ﷺ mengerjakan suatu amalan kemudian sebagian mereka menganggap hal tersebut sebagai qurbah (amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala), sedangkan yang lain menganggapnya sebagai ibahah (sesuatu yang dibolehkan) saja.

Contohnya: jumhur ulama berpendapat bahwasanya ar-raml (lari-lari kecil) di dalam thawaf adalah sunnah, adapun Ibnu Abbas berpendapat: Bahwa Nabi mengerjakannya hanyalah karena kesamaan antara syariat dengan apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin sebelum syari’at diturunkan, dan bukan merupakan sunnah. (Lihat Al-Inshaf fi Bayani Asbabil Ikhtilaf oleh Waliyullah Ad-Dahlawi).

  1. Diantaranya juga adalah ikhtilaful-wahm (perselisihan karena kekeliruan).

Contohnya: Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dari Sa’id bin Jubair bahwasanya dia berkata: “Saya berkata kepada kepada Ibnu Abbas: “Wahai Abal-Abbas, aku begitu terkejut terhadap ikhtilaf yang terjadi di kalangan para sahabat Nabi ﷺ di dalam masalah ihlal (Ucapan talbiyah: Labbaik Allahumma labbaik, Labbaik laa syarikalahu labbaik, secara keras yang diucapkan oleh Rasulullah tatkala memulai amalan haji)”.
Maka Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling tahu tentang masalah tersebut, sesungguhnya tidaklah beliau berhaji kecuali sekali saja, dan dari sanalah mereka berselisih. Rasulullah mulai keluar untuk berhaji, setelah beliau shalat dua rekaat di masjidnya di Dzil-Hulaifah beliau mulai -berniat- di majlisnya dan berihlal dengan haji. Dari sana sebagaian orang mendengarnya dan merekapun menghafal dan menjaganya. Kemudian beliau mulai menunggangi kendaraannya, maka tatkala menuju jalan ke arah Makkah beliaupun berihlal. Sebagian orang yang lain mendapati keadaan ini, padahal tidak mendapati yang sebelumnya, -yang demikian ini dikarenakan manusia datang secara berbondong-bondong tidak sekalian satu rombongan, dan mereka mendengar ihlalnya Nabi ﷺ tatkala kendaraan -tungangan- beliau mulai berjalan ke arah Makkah. Maka mereka pun berpendapat tidaklah Nabi berihlal kecuali saat tungangannya berjalan menuju Makkah. Kemudian Rasulullah berlalu dan tatkala berada di tempat yang tinggi, beliaupun berihlal dan keadaan ini didapati oleh sebagian orang yang lain lagi, maka merekapun berpendapat bahwasanya tidaklah beliau berihlal kecuali saat berada di tempat yang tinggi. Maka demi Allah sesungguhnya beliau mulai dari mushallanya, dan saat tungangannya berjalan menuju Makkah, dan saat berada di tempat yang tinggi”.

  1. Di antaranya adalah ikhtilaf sahwi (perselisihan karena lupa).

Contohnya: Apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar beliau berkata: “Rasulullah berumrah pada bulan Rajab, kemudian Aisyah mendengar hal tersebut dan menetapkan bahwa Ibnu Umar telah lupa”. (Jam’ul Fawaid I/345-346).

  1. Juga diantaranya adalah ikhtilaf adh-dhabt (ketelitian).

Contohnya: Apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dari Nabi bahwasanya orang mati diadzab karena tangisan keluarganya, maka Aisyah mendengar hal tersebut dan menghukumi Ibnu Umar keliru di dalam menerima hadits ini. Aisyah berkata: “Rasulullah melewati sebuah kuburan kemudian bersabda: “Sesungguhnya (mayit di dalam kubur) ini sedang diadzab sekarang, karena tangisan keluarganya”. Ibnu Umar menyangka bahwasanya adzab disebabkan oleh tangisan dan menyangka hukum tersebut bersifat umum bagi setiap orang mati. Maka Aisyah  berkata : “Semoga Allah mengampuni Abi Abdirrahman, dia telah keliru. Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman:

 وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى

Tidaklah seseorang menanggung beban dosa orang lain”.
Hanyasanya Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya (mayit di dalam kubur) ini sedang diadzab sekarang, dan keluarganya menangisinya.” (Lihat Musnad Imam Ahmad, Al-Inshaf fi Bayani Asbab il Ikhtilaf, Al-ayat Al-Bayinat fi ‘Adami Sima’il Mautaa oleh Al-Albani).

  1. Ikhtilaf di dalam ‘ilat (sebab/alasan adanya hukum).

Contohnya: Masalah berdiri untuk jenazah. Sebagian di antara mereka berkata bahwa hal itu sebagai pengagungan/pemuliaan terhadap malaikat, maka berlaku bagi jenazah mukmin maupun kafir. Sedangkan orang lain berpendapat bahwa hal itu karena dahsyatnya kematian maka berlaku bagi keduanya. Dan pendapat lain: Sebuah jenazah Yahudi melewati Rasulullah maka beliau berdiri karenanya sebab benci kalau jenazah tersebut lebih tinggi dari kepalanya, maka yang demikian ini berlaku khusus bagi jenazahnya orang kafir. (Lihat Al-Inshaf, halaman 30).

  1. Juga ikhtilaf di dalam menggabungkan dua riwayat yang berbeda.

Contoh: Rasulullah ﷺ melarang buang hajat dengan menghadap atau membelakangi kiblat. Sebagian mereka berpendapat hukum ini bersifat umum dan tidak dimansukh -dihapus-. Kemudian ada riwayat bahwa Jabir bin Abdillah melihat Rasulullah setahun sebelum wafatnya beliau buang air kecil menghadap kiblat, maka sebagian mereka berpendapat bahwa hadits ini adalah nasakh (menghapuskan) larangan sebelumnya. Demikian juga Ibnu Umar melihat pernah melihat Nabi membuang hajat membelakangi kiblat dan menghadap ke Syam, maka sebagian yang lain membantah ucapan mereka sebelumnya.
Sebagian ulama menggabungkan dua riwayat ini, Asy-Sya’bi dan yang lain berpendapat bahwasanya larangan tersebut berlaku khusus seandainya dilakukan di tanah lapang. Namun apabila berada di jamban (bangunan/tempat tertutup) maka tidak mengapa menghadap atau membelakangi kiblat. Sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa ucapan beliau adalah umum dan muhkam (pasti;tetap) sehingga wajib untuk dikerjakan oleh umatnya, adapun perbuatan beliau memiliki kemungkinan kekhususan bagi Nabi maka tidak bisa dijadikan dalil untuk menghapuskan.
Kesimpulannya, bahwa  para sahabat Nabi telah berbeda pendapat di dalam berbagai masalah, kemudian hal itu diambil oleh para Tabi’in sebatas kemampuan mereka. Masing-masing mereka -Tabi’in- menghafal apa-apa yang didengar dari Nabi dan pendapat-pendapat para sahabat serta mencernanya, kemudian mereka mengumpulkan setiap permasalahan yang diperselisihkan sebatas kemampuan mereka dan merajihkan (menyatakan kuatnya) sebagian pendapat dan menyisihkan pendapat lainnya walaupun bersumber dari para kibar sahabat (para sahabat besar). Maka dari sinilah kemudian muncul ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang lebih luas, sebab setiap ‘alim dari ulama Tabi’in memiliki madzhab (pendapat) dengan ilmu yang ada pada mereka. Dan setiap negeri disandarkan kepada seorang imam, seperti:
– Sa’id bin Al-Musayyib dan Salim bin Abdullah bin ‘Umar di Madinah. Dan sesudah keduanya ada Az-Zuhri, Qadhi Yahya bin Sa’id dan Rabi’ah bin ‘Abdirahman.
– ‘Atha’ bin Abi Rabah di Makkah.
–   Ibrahim An-Nakha’i dan Asy-Sya’bi di Kufah
–   Al-Hasan-Al-Bashri di Bashrah.
–   Thawus bin Kaisan di Yaman.
–   Makhul di Syam.
Maka Allah Ta’alla menjadikan manusia haus terhadap ilmu-ilmu mereka, mencintai, serta mengambil al-hadits, fatwa-fatwa para sahabat, perkataan, dan madzhab-madzhab (pendapat-pendapat) mereka, sehingga mereka menjadi poros-poros ilmu setelah zaman para sahabat.

SEBAB-SEBAB IKHTILAF MADZHAB-MADZHAB FUQAHA

Sebagaimana kita ketahui dari pembahasan di atas tentang peran tabi’in, maka kita ketahui pula bahwa Allah Ta’alla menjadikan masa tersebut sebagai masa dimulainya para pembawa ilmu sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah ﷺ :

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ

Ilmu ini dibawa pada setiap zaman oleh orang-orang kepercayaan.  (Lihat Al-Inshaf halaman: 34).
Mereka mengambil segala macam ilmu -syari’at- dari orang-orang yang mereka kenal, dan mereka meriwayatkan hadits Nabi, mendengar putusan-putusan dari hakim-hakim tiap negara-negara dan fatwa-fatwa para ahli fatwa, serta mereka menanyakan berbagai permasalahan dan mereka berijtihad di dalam masalah itu semua, sehingga jadilah mereka para pembesar kaum. Kemudian mereka menetapkan hukum, berfatwa, meriwayatkan hadits dan mengajarkan ilmu.
Apabila terjadi ikhtilaf di antara hadits-hadits Nabi di dalam suatu masalah, maka  mereka memutuskannya dengan ucapan para sahabat. Maka jika Tabi’in berpendapat dengan nasakh (penghapusan hukum), mengambil  makna yang bukan zhahirnya, atau mereka tidak menjelaskannya akan tetapi mereka sepakat untuk meninggalkan atau tidak berpendapat tentang hal itu maka mereka senantiasa mengikuti para sahabat di dalam semua masalah itu.
Apabila terdapat ikhtilaf di dalam madzhab (pendapat) para sahabat dan tabi’in tentang suatu masalah, maka yang dipilih oleh setiap ‘alim adalah pendapat ahli negerinya dan guru-guru mereka, sebab mereka lebih tahu tentang kebenaran pendapat-pendapat mereka, dan mereka lebih menguasai tentang usul yang berhubungan dengan masalah yang terjadi, dan hati mereka lebih condong kepada keutamaan dan kedalaman ilmu ulama negeri mereka.
Apabila terjadi kesepakatan ahli balad (penduduk suatu negeri) atas suatu masalah, mereka mengambilnya dan memegangnya dengan sekuat tenaga, sebagaimana disitir oleh Imam Malik: “Yang dinamakan Sunnah menurut kami adalah sesuatu yang tidak ada ikhtilaf padanya.” (Al-Inshaf hal. 37).
Tetapi apabila terjadi ikhtilaf diantara mereka, mereka mengambil pendapat yang paling kuat dan paling rajih, entah karena banyaknya orang yang berpendapat tentang masalah yang sama atau karena sesuai dengan qiyas yang kuat atau berdasarkan ijtihad dari Kitab dan Sunnah. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Malik: “Ini sebaik-baik apa yang aku dengar.” (Al-Inshaf hal 37).
Apabila mereka tidak mendapati jawaban permasalahan yang mereka hadapi pada apa yang mereka hafal dari sahabat, mereka akan mengikuti isyarat-isyarat dan tuntutan-tuntutan dari atsar para sahabat. Dan pada zaman mereka inilah mulai terilhami penulisan ilmu dari berbagai disiplin ilmu.
Imam Malik adalah orang yang paling terpercaya dan paling kuat dari sisi sanad di antara mereka tentang hadits-hadits penduduk Madinah dari Rasulullah. Beliau juga paling tahu tentang putusan-putusan hukum Umar bin Al-Khathab dan ucapan-ucapan Abdullah bin Umar, ‘Aisyah dan para sahabat yang lain .
Begitu pula Abu Hanifah senantiasa melazimi madzhab (pendapat) Ibrahim An-Nakha’i dan sahabat-sahabatnya, dan beliau memiliki kemampuan yang lebih di dalam madzabnya dan begitu teliti di dalam masalah tersebut.
Di antara sahabat-sahabat Abu Hanifah yang masyhur dan sering disebut-sebut adalah Abu Yusuf, beliau diangkat sebagai kepala Qadhi/Hakim pada zaman khalifah Harun Ar-Rasyid. Dari beliaulah madzhab Abu Hanifah menjadi terkenal dan tersebar. Di antara sahabat Abu Hanifah yang lain adalah Muhammad bin Al-Hasan, beliau adalah yang terbaik, mengambil ilmu dari Abu Hanifah dan juga dari Abu Yusuf. Kemudian beliau keluar menuju Madinah, dan di sana beliau bertemu dengan Imam Malik dan belajar Al-Muwatha’ darinya, kemudian kembali ke negerinya. Dan mulailah mencocokkan apa yang beliau dapati dari Al-Muwatha’ dengan madzhab sahabat-sahabatnya, permasalahan demi permasalahan. Jika sesuai maka langsung diterima, namun apabila ada ikhtilaf dan mendapati pendapat sebagian sahabat atau tabi’in sesuai dengan madzhabnya, maka beliau menerima hal tersebut. Dan jika mendapati qiyas yang lemah atau ijtihad yang tidak kuat menyelisihi hadits shahih yang diamalkan oleh fuqaha atau menyelisihi kebanyakan amalan ulama, maka beliau tinggalkan madzhabnya dan berpegang dengan madzhab para salaf -shahih- yang dipandang lebih rajih (kuat).
Namun demikian, Abu Yusuf maupun Muhammad bin Al-Hasan tetap senantiasa berpijak pada atsar Ibrahim An-Nakha’i sebagaimana Abu Hanifah. Sedangkan ikhtilaf antara mereka terjadi karena kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
* Pilihan yang dilakukan oleh Abu Hanifah terhadap madzhab Ibrahim An-Nakha’i bertentangan dengan pendapat keduanya (Ibrahim An-Nakha’i dan Abu Yusuf), kemudian Muhammad bin Hasan  menulis dan mengabungkan pendapat ketiganya (Ibrahim, Abu Hanifah, dan Abu Yusuf), dari sinilah manusia mengambil banyak manfaat dan mereka menyebutnya sebagai madzhab Abu Hanifah.
* Bahwasanya penyebutan madzhab Abu Hanifah dan madzhab Abu Yusuf dan Muhammad  adalah satu, padahal Abu Yusuf dan Muhammad juga mujtahid muthlak (tidak terikat ulama lain), dan pertentangan yang terjadipun tidak sedikit, namun karena kesepakatan mereka di dalam dasar yang sama, maka ketiga pendapat mereka tetap dianggap satu madzhab.
Adapun Imam Syafi’i  mulai nampak pada permulaan munculnya dua madzhab di atas, dan beliau mulai melihat dua madzhab tadi dan mendapati permasalahan-permasalahan yang membutuhkan koreksi, dan hal ini beliau sebutkan di dalam Kitabnya Al-Umm pada bab-bab awal, diantaranya:

  1. Beliau mendapati mereka mengambil hadits-hadits mursal dan munqati’ , maka dari sini diketahui bahwa pengambilan dalil mereka memiliki cacat. Sebab seandainya jalan-jalan hadits-hadits dikumpulkan, maka akan nampak banyak hadits-hadits mursal yang tidak memiliki sumber, dan hadits-hadits mursal yang menyelisihi hadits musnad. Maka beliau menetapkan untuk tidak mengambil hadits mursal sebagai hujjah, kecuali dengan beberapa syarat, hal ini disebutkan di dalam kitab-kitab Ushul fiqih.
  2. Sesungguhnya kaidah-kaidah penggabungan antara permasalahan yang diperselisihkan belum ditetapkan oleh mereka, sehingga dari sini timbul beberapa keganjilan-keganjilan pada hasil-hasil ijtihad mereka. Maka Imam Syafi’i menetapkan kaidah-kaidah ushul untuk permasalahan ini, dan menuliskannya di dalam buku tersendiri, yaitu Ar-Risalah, yang buku ini kemudian dikenal sebagai tulisan pertama tentang ushul fiqih.
  3. Bahwasanya sebagian dari hadits-hadits shahih belum/tidak sampai kepada ulama Tabi’in yang mereka menjadi sandaran fatwa, sehingga mereka berijtihad dengan akal, mengikuti dalil-dalil yang bersifat umum, atau mengikuti pendapat orang-orang yang telah lalu dari kalangan sahabat, dan mereka berfatwa sesuai dengan hal tersebut. Kemudian muncul penshahihan hadits-hadits pada kurun ke-3, dan para ulama pengumpul dan penshahih hadits itu tidak peduli walaupun bertentangan dengan pendapat ahli negerinya. Sebab terdapat banyak hadits Nabi yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua sahabat Nabi saja, kemudian tidaklah diriwayatkan dari mereka kecuali oleh satu atau dua Tabi’i saja, begitu seterusnya, yang hal ini terkadang tidak diketahui oleh ahli fiqih. Hal ini begitu gamblang pada masa para penghafal dan pengumpul jalan-jalan hadits. Banyak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh penduduk Bashrah -contohnya-, tetapi tidak diketahui oleh penduduk negeri lainnya.

Kemudian Imam Syafi’i menjelaskan bahwasanya para ulama dari kalangan sahabat dan Tabi’in senantiasa mencari hadits di dalam setiap masalah, apabila mereka tidak mendapatkannya mereka berpegang dengan hujjah yang lain. Lalu apabila suatu hadits shahih nampak kepada mereka, maka mereka kembali rujuk dari pendapat mereka kepada hadits yang shahih. Apabila keadaannya seperti ini, maka keadaan mereka –yang terkadang- tidak berpegang dengan hadits bukanlah suatu cela (karena mereka tidak sengaja menyelisihi hadits-Red), kecuali apabila sudah dijelaskan kecacatan hadits tersebut!

  1. Bahwasanya ucapan-ucapan para sahabat dikumpulkan pada zaman Imam Syafi’i, kemudian mulai diketahui banyaknya ucapan-ucapan tersebut berbeda-beda dan tersebar di berbagai penjuru alam. Beliau juga melihat banyak di antaranya yang menyelisihi hadits shahih, disebabkan hadits itu belum sampai kepada mereka. Dan Salafush Shalih senantiasa berpegang kepada ucapan-ucapan para sahabat, sampai datang kepada mereka berita tentang hadits yang shahih, kemudian mereka akan meninggalkan ucapan-ucapan itu jika bertentangan dengan hadits yang shahih.
  2. Beliau memandang sebagian kaum dari kalangan fuqaha mencampur-baurkan pendapat seseorang dengan nash, baik dengan qiyas yang tidak tepat atau selainnya, yang tidak ada perintahnya dari syari’at, sehingga tidak dapat dibedakan satu dengan lainnya. Dan kadang mereka menamakan dengan al-istihsan (menganggap baik sesuatu). Sebagaimana dihikayatkan oleh Ibnul-Hajib di dalam Mukhtashar Al-Ushul: “Barangsiapa beristihsan berarti dia telah membuat syari’at.” Jadi jelasnya, tatkala Imam Syafi’i melihat keadaan-keadaan yang terjadi pada generasi sebelumnya -sebagaimana dijelaskan- maka beliau mengambil fiqih langsung dari nash, kemudian beliau mulai menetapkan kaidah-kaidah ushul, mengembangkannya dan menulis buku. Hal itu berlangsung dengan baik dan bermanfaat, sehingga para fuqaha menyetujuinya dan mulai bertebaran di berbagai negeri untuk mengajarkannya, baik secara meringkas maupun memberikan penjelasan. Dan kemudian dikenal dengan madzhab Asy-Syafi’i.

SEBAB-SEBAB IKHTILAF ANTARA AHLI HADITS DAN AHLI FIQIH
Perlu diketahui bahwa para ulama di masa Sa’id bin Al-Musayyib, Ibrahim An-Nakha’i, Az-Zuhri, Imam Malik, Sufyan Ats-Tsauri dan generasi setelahnya, sangat membenci mempergunakan akal terlalu mendalam. Mereka menghindar dari berfatwa dan mengambil kesimpulan hukum kecuali dalam keadaan darurat yang tidak mungkin untuk mengelak, sebab perhatian mereka yang utama adalah meriwayatkan dari Rasulullah.
Tatkala Abdullah bin Mas’ud  ditanya tentang sesuatu beliau menjawab: “Janganlah kalian terburu-buru dengan bala’ (bencana) sebelum turunnya, sesungguhnya di kalangan muslimin terdapat orang yang menjawab setiap pertanyaan apabila ditanya.” Juga diriwayatkan ucapan yang semakna dari ‘Umar, Ali, Ibnu ‘Abbas, dan Ibnu  Mas’ud tentang kebencian mereka atas perkataan terhadap sesuatu yang belum terjadi. (Lihat Al-Inshaf halaman 46).
Ibnu ‘Umar berkata kepada Jabir bin Zaid: “Sesungguhnya engkau termasuk salah satu dari fuqaha Bashrah, maka janganlah engkau berfatwa kecuali dengan Al-Qur’an atau dengan Sunnah yang telah diajarkan, sebab jika engkau tidak berbuat demikian, niscaya engkau binasa dan membinasakan.”
Tatkala Abu Salamah tiba di Bashrah, Abun-Nadhar berkata: “Aku mendatanginya (Abu Salamah) beserta Al-Hasan, kemudian dia berkata kepada Al-Hasan: “Engkau adalah Hasan?, tidak ada seorangpun di Bashrah ini yang aku sangat suka untuk menemuinya selain darimu, sebab sampai berita kepadaku bahwasanya engkau berfatwa dengan akalmu, janganlah engkau berfatwa dengan akalmu, tetapi hendaklah engkau berfatwa dengan Sunnah dari Rasulullah n atau dengan Kitabullah. (Riwayat-riwayat ini dikeluarkan oleh Ad-Darimi).
Keadaan seperti ini kemudian berkembang, dan tersebarlah penulisan hadits dan atsar (riwayat) di negeri-negeri Islam, serta penulisan-penulisan shuhuf (lembaran-lembaran) dan naskah-naskah, sampai-sampai hampir setiap ahli riwayat memiliki tulisan atau naskah tersendiri, disebabkan oleh kebutuhan mereka yang sangat besar terhadap tulisan. Banyak dari mereka berusaha untuk bertemu dengan para ulama, walaupun harus mengadakan perjalanan jauh dan melelahkan, ke Hijaz, Syam, Iraq, Mesir, Yaman, Khurasan, dan sebagainya. Mereka mengumpulkan buku-buku, mencari naskah-naskah, dan memeriksa tentang gharibul hadits (kata-kata yang asing/aneh/jarang digunakan  yang ada di dalam hadits) dan atsar. Disebabkan semangat dan perhatian mereka yang besar di dalam mengumpulkan hadits dan atsar membuahkan sesuatu yang tidak terkumpul oleh seorangpun pada zaman sebelumnya. Terkumpullah hadits-hadits gharib, mutaba’ah dan syawahid serta nampak bagi mereka hadits-hadits shahih yang tidak nampak pada para ahli fatwa sebelum mereka.
Sebagaimana pengakuan Imam Syafi’i terhadap kelebihan Imam Ahmad di dalam hal tersebut, Imam Syafi’i berkata: “Engkau lebih tahu dari kami tentang hadits-hadits shahih, maka apabila engkau dapati hadits yang shahih, beritakan kepada kami, sehingga aku akan berpndapat dengan hadits tersebut. Baik hadits itu dari Kufah, Bashrah,  ataupun Syam”. Yang demikian ini karena ada banyak hadits shahih tidak diriwayatkan kecuali oleh penduduk negeri tertentu. Hadits yang demikian –biasanya- tidak diketahui oleh banyak ahli fatwa. Pada zaman mereka inilah mulai terkumpul atsar-atsar fuqaha setiap negeri dari kalangan sahabat dan tabi’in. Padahal orang-orang sebelum mereka belum memiliki kemampuan kecuali sekedar mengumpulkan hadits-hadits negeri mereka dan sahabat mereka.
Pada zaman tersebut, para ulama peneliti senantiasa mengutamakan ilmu riwayat dan menyusun hadits secara fiqih, dan tidak terbetik pada diri mereka untuk menyusun fiqih secara taqlid kepada orang-orang dahulu. Karena terkadang hadits-hadits dan atsar-atsar yang mereka riwayatkan itu justru bertentangan dengan setiap madzhab yang ada. Maka mereka lebih memilih untuk mengambil dan mengikuti hadits Nabi serta atsar para sahabat dan para Tabi’in serta mujtahid yang berdasarkan kaidah-kaidah yang mereka tetapkan.
DARI PENJELASAN DI ATAS DAPAT KITA SIMPULKAN:
Bahwa para ulama jika menjumpai suatu permasalahan, sedangkan jawabannya di dalam Al-Qur’an masih memiliki beberapa kemungkinan, maka mereka menjadikan Sunnah Rasulullah sebagai penjelasan Al-Qur’an. Namun apabila mereka tidak mendapati jawabannya, baik di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah ﷺ , dan mereka pun sudah mengerahkan segala kemampuan untuk mencari dan meneliti hadits-hadits yang ada namun merekapun tidak mendapatinya, barulah mereka mengambil ucapan sekelompok sahabat dan Tabi’in, dan mereka tidak terikat kepada satu kaum saja dan menyepelekan yang lain. Akan tetapi kapanpun didapati hadits shahih yang menjelaskan tentang suatu masalah, maka tidak selayaknya menyelisihinya, lalu mengikuti yang selainnya yang bertentangan dengannya, baik atsar maupun ijtihad seseorang dari kalangan mujtahidin.
Dan apabila mayoritas khalifah dan fuqaha sepakat atas suatu masalah, maka yang demikian dapat diikuti –bahkan wajib diikuti-, akan tetapi apabila mereka ber-ikhtilaf maka diambil ucapan dari orang yang paling berilmu, yang paling wara’, dan yang paling kuat hafalannya. Namun jika didapati dua pendapat yang sama-sama kuat, dan tidak dapat dipecahkan maka mereka kembalikan kepada keumuman nash Al-Kitab dan Sunnah Rasululla. Wallahu A’lam.
Bahan Bacaan:
– Al-Inshaf Fi Bayaani Asbaabil Ikhtilaf oleh Syaikh Waliyullah Ad-Dahlawi.
– Hakikatut Ta’yin oleh Syaikh Muhammad ‘Ied ‘Abbaasi.
– I’laamul ‘Ibaad oleh Syaikh Muhammad ‘Ied ‘Abbaasi.
– Ta’riefur Raghib oleh Syaikh Muhammad ‘Ied ‘Abbaasi.
– Shifat Shalat Nabi n oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
[Majalah As-Sunnah Edisi 01 Tahun V]


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/manhaj/sebab-sebab-ikhtilaf-di-kalangan-ulama/